Makalah Tokoh Filsafat Islam
DOSEN PENGAMPU
ABDURRAHMAN SAYUTI
|
MATA KULIAH
PENGANTAR FILSAFAT
|
“FILSAFAT ISLAM”
Disusun
oleh:
Faturrahman
Nimko:
1216.16.1571
Fania Putri
Nimko:
1216.16.1529
SEMESTER III A
KELAS
REGULER
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
STAI DINIYAH PEKANBARU
1439
H / 2017
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah swt atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang
sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan kami
semoga makalah ini dapat membantu dan menambah pengetahuan serta pengalaman
bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah
ini sehingga kedepannya dapat lebih baik .
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karna
pengalaman kami yang sangat sedikit dalam membuat makalah. Oleh karena itu kami
harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan – masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Minggu,
03 Desember 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Filsafat islam merupakan filsafat yang
seluruh cendikiawannya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara
filsafat islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim
klasik menggali kembali karya filsafat yunani terutama aristoteles, dan plotinus,
namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran agama islam. Kedua, islam adalah
agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih mencari tuhan, dalam
filsafat islam justru tuhan sudah ditemukan. Dalam arti bukan berarti sudah
usang. filsuf islam lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia, dan alam,
karena sebagaimana diketahui, pembahasan tuhan hanya akan menjadi sebuah
pembahasan yang tak pernah ada finalnya. Namun ilmu filsafat mendapat krtikan
dan tantangan dari kalangan ulama-ulama agama (islam) timbul sikap menolak
terhadap keseluruhan filsafat karena alasan-alasan yang dihubungkan dengan
agama. Ini dapat dilihat pada sistem pendidikan di al-azhar mesir yang dilarang
secara keras ilmu filsafat, akan tetapi pada sisi lain jauh pada masa dinasti abbasiyah
memerintahkan muslim untuk mempelajari filsafat untuk dapat berargumentasi
dengan non muslim menggunakan logika atas perdebatan al-qur’an maupun hadits
nabi.
1. Siapa nama tokoh filsafat islam dan
karya-karyanya
2. Apa pandangan para filsuf muslim tentang
filsafat
3. Apakah filsafat dapat diterima di dalam
islam
4. Siapakah Filsuf Muslim yang Paling
berpengaruh di Dunia Filsafat
5. Bagaimana Filsuf Muslim Menyikapi Ilmu Filsafat
BAB II PEMBAHASAN
Al kindi, yang memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’qub Ibn
Ishaq Ibn Sabbah Ibn Imran ibn Isma’il al-Ash’ats bin Qais al-Kindi (
185/801-206/873) adalah filsuf muslim pertama. Nama
al-kindi dinisbatkan pada salah satu suku besar Arab pra-Islam, yakni Kindah.
Kakeknya, al-Ash’ats bin Qais, adalah seorang muslim dan bahkan dianggap
sebagai sahabat nabi, sementara ayahnya, Ishaq as-Sabbah, adalah Emir Kufah
ketika Daulah Abbasiyah diperintah oleh mahdi. Tidak ada informasi yang pasti
mengenai kapan al-Kindi dilahirkan. Para ahli memperkirakan bahwa ia lahir pada
185 H/801 M, sekitar satu dasawarsa sebelum khalifah Harun Rasyid meninggal.
Al-kindi lahir pada puncak kemajuan intelektual dan sosial politik Bani
Abbasiyah. Pada masa itu, buku-buku ilmu pengetahuan sangat mudah didapat dan
Bait al-Hikmah berperan sebagai pusat kegiatan penerjemahan. Antusiasme
pemerintah terhadap kegiatan penerjamahan tercermin dari besarnya imbalan yang
diberikan untuk sebuah karya terjemahan, yakni dengan emas seberat buku itu.[1]
Al-Kindi
juga dikenal sebagai filosof islam pertama. Atas jasa-jasanya, ia berhasil
menyatukan pemikiran islam dan filsafat yunani yang sangat mengandalkan logika.
Bahkan untuk mewujudkan
impiannya itu, ia membangun sebuah institusi (lembaga) yang bergerak di bidang
perpaduan pemikiran yunani dan peradaban arab.
Memang
terjadi pertentangan antara filsafat yunani dan agama-agama di Arab (Timur
Tengah). Semua diawali dari penerjemahan buku-buku filsafat yunani ke dalam
bahasa Arab dilakukan oleh orang Nasrani Suryani pada masa Khalifah al-Rasyid
dan al-Ma’mun. Padahal waktu itu pemikiran Yunani sebagai “Musuh” yang harus
dilawan. Al-Kindi tampil untuk mendamaikan semua itu.[2]
a) Talfiq
Al-Kindi
berusaha memadukan (Talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutnya filsafat
adalah pengetahuan yang benar (knowledge
of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih menyakinkan
dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh
filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang bahkan
teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat islam diwajibkan mempelajari
teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus
menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal, dan
filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi al-Kindi ialah Tuhan.
Filsafat dengan demikian membahas tentang tuhan dan agama ini pulalah dasarnya.
Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan
demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut al-Kindi telah
mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping
itu karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang tuhan,
tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat
untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita
harus menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya sebab, “ tidak
ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada kebenaran itu
sendiri”. Karena itu tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang yang
mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab
kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika
diibaratkan maka orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan
orang yang memperdagangkan agama, dan pada hakikatnya orang itu tidak lagi
beragama.
Pengingkaran
terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan
apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan al-Qur’an. Hal semacam ini
menurut al-Kindi, tidak dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena hal itu
dapat dilakukan ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaan antara
keduanya, yaitu :
1) Filsafat termasuk humaniora yang dapat
dicapai filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan
yang menempati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar,
dan hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
2) Jawaban filsafat menunjukkan
ketidakpastian (semu) dan memerlukan berpikir atau perenungan. Sedangkan agama
lewat dalil-dalilnya dibawa Al-Qur’an memberi jawaban secara pasti dan
menyakinkan dengan mutlak.
3) Filsafat mempergunakan metode logika,
sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan.
Walaupun
Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak
mendewa-dewakan akal.
b) Jiwa
Tentang
jiwa, menurut al-Kindi, tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan
mulia. Subtansi ruh berasal dari subtansi Tuhan. Hubungan ruh dengan tuhan sama
dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual,
ilahiyah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa
nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling
berhubungan dan saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan al-Kindi
tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan
pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.
Dengan
pendapat al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato ketimbang
penadapat Aristoteles. Aristoteles menagatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena
jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya
membentuk kesatuan insensial, dan kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan
jiwa. Sedangkan plato berpendapatbahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah
kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya
jiwa. Namun al-Kindi tidak menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal
dari ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni : daya
bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi al-Kindi jiwa adalah
qadim, namun keqadimannya berbeda dengan qadimnya tuhan, qadimnya jiwa karena
diqadimkan oleh tuhan.[3]
Al-kindi
dikenal juga sebagai penulis buku yang aktif. Diperkirakan karya buku yang
telah ditulisnya tidak kurang dari 270 buah yang membahas berbagai bidang
keilmuan dan persoalan umat. Berikut ini beberapa karya al-Kindi yang terkenal
:
a. Kitab al-Kindi ilaa al-Mu’tashim Billah
fi al-Falsafah al-Ula ( buku ini membahas tentang kajian filsafat pertama )
b. Kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa
al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al-Muqtashah wa ma Fawqa al-Thabi’iyyah (
membahas kajian filsafat dan berbagai masalah yang berhubungan dengan logika,
muskil, dan metafisika)
c. Risalah al-Hikmiyah fi Asrar
al-Ruhaniyyah ( membahas berbagai rahasia spritual dengan bahasa filosofis )
d. Risalah fi Annahu al-Jawahir la Ajsam (
mengkaji tentang subtansi-subtansi tanpa badan )
Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan Abu Nasr al-farabi,
lahir di wasij dekat Farab, dikawasan ma
wara’a an-nahr (Transoxiana) pada tahun 258 H/870 M. Dan meninggal pada
tahun 339 H/950 M. Biografi al-Farabi tidak ketahui dengan pasti, sebab ia
tidak menulis biografinya sendiri seperti halnya filsuf lain. Namun demikian,
biografi al-Farabi masih dapat dijumpai pada karya Ibn Khalikan, Wafarat
al-A’yan, sekalipun menurut sebagian ahli terdapat kelemahan yang perlu di kaji
ulang. Dari data yang
terhimpun menunjukkan bahwa al-Farabi berasal dari keluarga keturunan Turki,
anak seorang jenderal, dan ia pernah menjadi hakim.
Pendidikan dasar al-farabi dimulai
dengan mempelajari ilmu agama dan bahasa, yang meliputi Al-Qur’an, hadits,
tafsir, fiqh, bahasa Arab, Persia, dan Turki. Ia juga belajar matematika,
falsafah, dan melakukan pengembaraan untuk belajar ilmu-ilmu lain.
a) Pemaduan pendapat Plato dan Aristoteles
Al-farabi
melihat adanya perbedaan pendapat antara kedua tokoh filsafat tersebut. Akan
tetapi perbedaan itu menurut dia hanyalah dalam lahirnya saja, dan tidak
mengenai pesoalan pokok, karena kedua tokoh tersebut adalah sumber dan pencipta
filsafat. Apa yang dikatakan oleh kedua filosof tersebut juga satu, dan oleh
karena itu maka pikiran-pikiran filsafatnya tidak mungkin berbeda. Kalau ada
perbedaan, maka tidak lebih dari tiga kemungkinan yaitu :
·
Definisi
filsafat itu sendiri tidak benar.
·
Pendapat
orang banyak tentang pikiran filsafat dari kedua filosof tersebut tidak benar.
·
Pengetahuan
kita tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar.
Menurut
al-Farabi, definisi filsafat yang diberikan oleh plato dan aristoteles tidak
berbeda, yaitu mengetahui wujud karena ia wujud, seperti yang sering dikatakan
dalam karangannya masing-masing. Pendapat orang banyak tentang pikiran-pikiran
filsafat keduanya, dan kedudukannya dalam dunia islam filsafat juga tidak
diragukan kebenarannya. Tinggallah kemungkinan yang ketiga yaitu bahwa
perbedaan antara kedua filosof tersebut hanya dalam lahirnya saja. Perbedaan
lahir yang tidak sebenarnya itu boleh jadi dikarenakan: (1) cara hidup
masing-masing; (2) gaya bahasa karangan-karangannya; (3) sistem pemikirannya.
Akan tetapi dalam pembahasan berikut ini akan nampak
kepada kita bahwa ketiga perkara tersebut tidak cukup menimbulkan
perbedaan-perbedaan pokok pada pemikiran islam filsafat keduanya.
b) Jiwa
Adapun jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh
filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Jiwa bersifat ruhani, bukan materi,
terwujud setelah adanya badan dan tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke
badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident,
artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad
tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang
berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk,
beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap
menerimanya.
c) Politik
Pemikiran
al-farabi tentang politik banyak dipengaruhi oleh konsep plato. Al-Farabi
mengatakan bahwa bagian-bagian sesuatu negeri sangat erat hubungannya satu sama
lain dan saling bekerja sama, laksana anggota-anggota badan dimana apabila
salah satunya menderita maka lain-lain anggota pun ikut merasakannya pula.
Kesenangan pribadi harus dikenal dalam masyarakat yang baik.[4]
Al-Farabi dikenal sebagai “guru kedua”
setelah Aristoteles, sang “guru pertama”. Dia adalah filosof Islam pertama yang
berupaya menghadapkan, mepertalikan, dan sejauh mungkin menyelaraskan politik
(yunani) klasik dengan islam. Berikut ini karya-karyanya dalam bidang humaniora
: Syarh Kitab al-Khathabah li
Aristhuthalis (Uraian atas Buku retorika karya Aristoteles); Kitab fi al-Khathabah (Buku tentang
Retorika); Kitab fi Shina’ah al-Kitabah
(Kitab tentang Seni Menulis); Kitab fi
al-Syi’r wa al-qawafi (Kitab tentang Syair dan Rima persajakan); Kalam fi ma yashluhu an yudhama lahu
al-muaddib (Wacana tentang Apa yang seharusnya Dimiliki Seorang Pendidik);
dan karya-karya tulis lainnya dalam filsafat moral, ilmu musik, ilmu
pemerintahan, dan strategi militer, di samping Kitab Ihsha al-‘ulum wa tartibiha (Kitab tentang Cabang-Cabang ilmu
dan Klasifikasinya), yang dua kali diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.[5]
Tahsil as-Sa’adah (Mencari Kebenaran)
Abu Ali al-Husayn bin Abdullah bin Sina
atau yang secara umum dikenal dengan nama Ibnu Sina atau Avicenna (bahasa latin
yang terditorsi dari bahasa Hebrew Aven Sina) adalah seorang ensklopedis,
filsuf, fisiologis, dokter, ahli matematika, astronomer dan sastrawan. Bahkan,
di beberapa tempat ia lebih terkenal sebagai sastrawan dari pada seorang
filsuf. Dia adalah ilmuan dan filsuf muslim yang sangat terkenal dan salah
seorang ilmuan dan filsuf terbesar sepanjang masa. Diakui oleh semua orang
bahwa pikirannya merepretasikan puncak Filsafat Arab. Dia dipanggil oleh orang
arab sebutan asy-Syaikh ar-Rais.[6]
Ia lahir di Afshanah, desa kecil dekat bukhara, 370 H/980
M, dan wafat di hamdan, 428 H/1037 M. Ia adalah putra seorang pegawai tinggi
pada Dinasti Samaniah (204-395 H/819-1005 M). Pada
usia yang sama, ia mengawali prosesi sebagai seorang dokter dan menjadi sangat
populer ketika ia berhasil mengobati Nuh bin manshur (976-997 M), salah seorang
penguasa Dinasti Samaniah. Karena kemampuan dan jasa-jasanya kepada penguasa,
maka kemudian ia diangkat sebagai menteri pada Dinasti Hamdani (293-394
H/905-1005) selama dua periode, namun pada akhirnya ia dipecat dari jabatannya
sebagai menteri, dan dipenjarakan, karena pemikirannya dianggap merugikan
penguasa.[7]
a) Kenabian
Sejalan
dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu sina membagi manusia kedalam empat
kelompok. Mereka yang kecakapan teoritisnya telah mencapai tingkat
penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru
sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak
yang sedemikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam
mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa
masa kini dan akan datang. Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif,
tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang daya teoritisnya
sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya
hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.
Nabi
muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang nabi, yaitu memiliki
imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga
ia mampu mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh
materi pada umumnya. Dengan imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi,
melalui keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran
akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan
yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya
menjadi percaya tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu. Apabila kita lapar
atau haus, imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji yang hidup tentang makanan
dan minuman. Pelambagan dan pemberi sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal
dan jiwa Nabi, menimbulkan imaji-imaji yang kuat dan hidup sehingga apapun yang
dipikirkan dan dirasakan oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan
melihatnya.
b) Tasawuf
Tasawuf,
menurut ibnu sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan
keduniaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang sufi sebelumnya, ia memulai
tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran
akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-Af’al. Dalam pemahaman bahwa
jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai
mengenai ma’rifah, tetapi perbedaanya terletak pada ukuran persiapannya untuk
berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai
bersatunya tuhan dan manusia atau bertempatnya tuhan dihati diri manusia tidak
diterima oleh ibnu sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada tuhannya,
tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa
puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan,
karena manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran
dan sinar tidak langsung keluar dari Allah tetapi melalui akal fa’al.[8]
Pemikiran keagamaan ibnu Sina sangatlah
mendalam dan tajam. Pemikiran keagamaan seperti inilah yang mempengaruhi
pandangan filsafat, dan keyakinan keagamaan yang secara simultan mewarnai alam
pikiran Ibnu Sina sehingga melahirkan beberapa karya besar, baik berupa buku,
buku saku, dan kumpulan surat-surat yang semuanya tidak kurang dari 276 buah,
dan beberapa diantaranya sampai saat ini masih dipakai sebagai rujukan
universitas-universitas ternama barat. karya-karya filsafat Ibnu Sina seperti
kitab an-Najat dan As-Shifa’[9]
, Mantiq Al Masyriqin (Logika Timur), al-isyarat wat-Tanbihat,
al-Hikmat al-Masyriqiyyah, al-Qanun atau Canon of Medicine.[10]
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali ath-Thusi
asy-Syafi’i (lahir di Thus : 1058 / 450 H – Meninggal di Thus ; 1111 / 14
Jumadil Akhir 505 H : umur 52-53 Tahun) adalah seorang filosof dan teolog
muslim Persia, yang dikenal sebagai algazel
di dunia barat abad pertengahan.
Ia
berkunyah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar dia
al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya bekerja sebagai pemintal bulu
kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan Persia
(Iran). Sedangkan gelar Syafi’i menunjukkan bahwa dia bermazhab Syafi’i. Ia
berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi
yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam al-Ghazali adalah
seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak
memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang
jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiya, pusat pengajian tinggi di
Baghdad. Imam al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505
Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya di kebumikan di
tempat kelahirannya.[11]
Pikiran al-Ghazali telah mengalami perkembangan sepanjang
hidupnya dan penuh kegoncangan batin, sehingga sukar diketahui kesatuan dan
kejelasan corak pemikirannya, seperti yang terlihat dari sikapnya terhadap
filosof-filosos dan terhadap aliran-aliran akidah pada masanya.
Sikapnya
terhadap filosof-filosof dalam bukunya tahafut al-falasifah dan Al-Munqidh min adh-Dhalal, al-Ghazali menentang filosof-filosof Islam. Bahkan
mengkafirkan mereka dalam tiga soal : (1) pengingkaran kebangkitan jasmani; (2)
membataskan Ilmu Tuhan kepada Hal-hal yang besar saja; dan (3) kepercayaan
tentang qadimnya alam dan kezalimannya. Akan tetapi dalam bukunya yang lain,
yaitu Mizan al- Amal, dikatakan bahwa ketiga-tiga persoalan tersebut
menjadi kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Juga dalam bukunya al-Madlnun
‘Ala Ghairi Ahlihi ia mengakui qadimnya alam. Kemudian dalam Al-Munqidh
min adh-Dhalal ia menyatakan bahwa kepercayaan yang dipeluknya ialah
kepercayaan orang-orang tasawuf.
Akan tetapi dalam bukunya yang lain lagi, Mi’raj
as-Salikin ia menentang orang-orang tasawuf yang mengatakan adanya
kebangkitan rohani saja. Jadi al-Ghazali menentang kepercayaan dalam tiga soal
tersebut dalam beberapa bukunya, tetapi mempercayai dalam buku-bukunya yang
lain. Tafisran para pembahas disini berbeda-beda. Menurut Ibnu Tufail,
perlawanan tersebut memang suatu kontradiksi benar-benar dari pikiran
al-Ghazali. Menurut Ibnu Shanah, karena al-Ghazali dari aliran ahlusunnah, maka
pikiran-pikiran dan buku-buknya yang berlawanan dengan aliran ini dianggap
bukan dari al-Ghazali, seperti buku al-Madlnun ‘Ala Ghairi Ahlihi.
Menurut dr.Zaki Mubarak dalam
bukunya al-Akhlaq ‘Indaal-Ghazali, perbedaan pendapat tersebut disebabkan
karena perkembangan pikiran al-Ghazali, mulai dari seorang murid biasa,
kemudian menjadi murid yang cemerlang namanya, meningkat menjadi guru, bahkan
menjadi guru yang tenar-kenamaan. Akhirnya menjadi kritikus yang kuat dari
menguasai dan mneyikapi macam-macam pendapat, kemudian menjadi pengarang besar
yang membanjiri dunia dengan pembahasan dan buku-bukunya.
Al-Munqidh min adh-Dhalal (penyelamat dari kesesatan) kitab
ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali sendiri dan
merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.
Al-Iqtishad fi al-I`tiqad (modernisasi dalam aqidah) Al
ikhtishos fi al ‘itishod (kesederhanaan dalam beri’tiqod), Al-Risalah
al-Qudsiyyah, Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din, Mizan al-Amal, Ad-Durrah
al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah, Maqasid al-Falasifah (tujuan para
filusuf), sebagai karangan yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafat, Tahafut
al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu,
yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rusd dalam buku Tahafut al-Tahafut (The
Incoherence of the Incoherence), al-Madlnun ‘Ala Ghairi Ahlihi.
Abu Walid Muhammad bin Rusyd lahir
di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520
Hijriah (1128 Masehi). Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal
pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai
banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum,
matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far Harun
dan Ibnu Baja.
Ibnu Rusyd adalah seorang jenius
yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya
sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai "Kadi" (hakim) dan
fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator
terbesar atas filsafat Aristoteles yang memengaruhi filsafat
Kristen pada abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu
Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.
a)
Pemikiran
Epistimologi Ibn Rusyd
Dalam
kitabnya Fash al Maqal ini, Ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari
filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak
ubahnya mempelajari hal-hal yang lantas orang berusaha menarik pelajaran/
hikmah/ ‘ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang
Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang
ciptaan Tuhan, maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang
adanya Tuhan. Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan
dasar-dasar Syar’i maka ada beberapa kemungkinan pertama, ia tidak memiliki
kemampuan / kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat, kedua,
ketidakmampuan dirinya mengendalikan diri untuk tidak terseret pada hal-hal yang
dilarang oleh agama dan yang ketiga, ketiadaan pendamping / guru yang handal
yang bisa membimbingnya memahami dengan benar tentang suatu objek pemikiran
tertentu.
b)
Pemikiran
Metafisika
Dalam
masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertama (
Muharrik al-Awwal). Sifat positif yang dapat diberikan kepada Allah ialah
“akal”, dan “Maqqul” wujud Allah ialah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak
berbeda dari zat-Nya. Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali
merupakan Aristoteles, Plotinus, al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan
agama islam yang dipeluknya. Mensifati Tuhan “Esa” merupakan ajaran islam,
tetapi menamakan Tuhan sebagai penggerak Pertama, tidak pernah dijumpai dalam
pemahaman Islam sebelumnya.
Buku-buku yang
lebih penting dan yang sampai kepada kita ada empat, yaitu :
a) Bidayatul-Mujtahid, ilmu fiqih. Buku ini
bernilai tinggi, karena berisi perbandingan empat mazhabi dalam fiqh denga
menyebutkan perbandingan-perbandingannya.
b) Faslul-Maqal fi ma baina al-Hikmati
was-Syari’at min al-ittisal (ilmu kalam). Buku ini dimaksudkan untuk
menunjukkan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’at, dan sudah pernah
diterjemahkan ke dalam bahasa jerman pada tahun 1895 M oleh Muler, orientalis
asal Jerman.
c) Manahij al-Adillah fi aqaidi Ahl
al-Millah (Ilmu kalam). Buku ini menguraikan tentang pendirian aliran-aliran
ilmu kalam dan kelemahan-kelemahannya, dan sudah pernah diterjemahkan ke dalam
bahasa jerman, juga oleh Muler, pada tahun 1895.
d) Tahafut at-Tahafut, suatu buku yang
terkenal dalam lapangan filsafat dan ilmu kalam, dan dimasukkan untuk membela
filsafat dari serangan al-Ghazali dalam bukunya tahafut al-falasifah. Buku
tahafut at-tahafut berkali-kali diterjemahkan kedalam bahasa jerman, dan terjemahannya
ke dalam bahasa inggris oleh van den berg terbit pada tahun 1952 M.[12]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Filsafat islam merupakan pengaruh dari filsafat yunani
namun tujuan dalam filsafat islam bukanlah untuk menentang al-hikmah yang
hakiki. Banyak cendikiawan muslim yang berusaha mengeluarkan hasil pemikirannya
yang merupakan suatu korelasi dalam syari’at islam. Ilmu filsafat pada mulanya
ialah suatu ilmu yang ditentang keras akan tetapi dengan munculnya
filsuf-filsuf muslim yang berusaha mendudukan ilmu filsafat ini dengan islam
menjadikan ilmu filsafat menjadi ilmu yang seharusnya dipelajari umat muslim
sebagai pijakan dalam berargumen dan menegaskan apa yang telah disampaikan
dalam al-qur’an.
Menyadari bahwa penulis masih
jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam
menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang
tentunya dapat dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta, PT Bulan Bintang : 1996)
Ahmad
Zainul Hamdi, tujuh filsuf muslim pembuka
pintu gerbang filsafat barat modern (yogyakarta, lkis pelangi aksara, 2004)
Badiatul
Muchlisin, 105 Tokoh Penemu & Perintis Dunia(Jakarta,
PT Buku Kita : 2009)
George
A. Makdisi, Cita Humanisme Islam,
Terj. A. Syamsu Rizal & Nur Hidayah sunt. Dedi Slamet Riyadi (Jakarta : PT
Seramabi Ilmu Semesta, 2005)
https://menantikau.wordpress.com/kumpulan-makalah/metodologi-studi-islam/tokoh-tokoh-filsafat-islam-dan-pemikirannya/ diunduh pada tanggal 01 desember
2017 pukul 11:20 WIB
https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Hamid_Muhammad_al-Ghazali#Filsafat di unduh pada tanggal 18 November
2017 pukul 11:35 WIB
Muhammad
Sholikhin, filsafat dan metafisika dalam
islam (jakarta, PT. Buku Kita :2008)
Syamsuddin
Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Jakarta, Gema Insani Pers : 2008)
[1] Amroeni Drajat, Suhrawardi
Kritik Falsafah Peripatetik (yogyakarta, PT LkiS Pelangi Aksara : 2005)
Hal.111
[2] Badiatul Muchlisin, 105 Tokoh Penemu & Perintis Dunia(Jakarta,
PT Buku Kita : 2009) Hal. 38
[3]https://menantikau.wordpress.com/kumpulan-makalah/metodologi-studi-islam/tokoh-tokoh-filsafat-islam-dan-pemikirannya/ diunduh pada tanggal 01 desember 2017 pukul
11:20 WIB
[4] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta, PT Bulan
Bintang : 1996) Hal. 95-96
[5] George A. Makdisi, Cita
Humanisme Islam, Terj. A. Syamsu Rizal & Nur Hidayah sunt. Dedi Slamet
Riyadi (Jakarta : PT Seramabi Ilmu Semesta, 2005) hlm. 390-391
[6] Ahmad zainul hamdi, tujuh
filsuf muslim pembuka pintu gerbang filsafat barat modern (yogyakarta, lkis
pelangi aksara, 2004) hlm. 89
[7] Muhammad Sholikhin, filsafat
dan metafisika dalam islam (jakarta, PT. Buku Kita :2008) Hal. 150
[8]https://menantikau.wordpress.com/kumpulan-makalah/metodologi-studi-islam/tokoh-tokoh-filsafat-islam-dan-pemikirannya/ diunduh pada tanggal 30 november 2017 pukul
9:42 WIB
[11] https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Hamid_Muhammad_al-Ghazali#Filsafat di unduh pada tanggal 18 November
2017 pukul 11:35 WIB
[12] Ahmad Hanafi, Op.Cit Hal.165-166
Komentar
Posting Komentar